Kita lelah dengan “orang-orang titipan” yang menduduki jabatan tertentu padahal kinerjanya belum tentu. Mereka yang bisa duduk di posisi tinggi, memiliki potensi membuat aturan dan kebijakan, tetapi diisi individu yang hanya menguntungkan pihak tertentu.
Pada dasarnya, menjadi pemimpin artinya bukan hanya menempati posisi dan duduk di jabatan tertentu saja. Semestinya, menduduki posisi tertentu diberikan kepada mereka yang memang sudah siap berada di posisi itu berdasarkan kapasitas atau kinerjanya.
Pernah ada istilah populer, pepatah dari Afrika yang sangat lekat dengan leadership: if you want to go fast, go alone; if you want to go far, go together.

Seorang high achiever, justru akan mandek performanya ketika menduduki posisi sebagai team-leader. Alasan klise, ternyata sebagai seorang pemimpin tim, dia tidak mampu mendelegasikan tugas kepada anggotanya.
Terbiasa bekerja secara individu mendekati level “sempurna”, dirinya jadi kurang bisa menoleransi kesalahan atau kekurangan orang lain yang menjadi penghambat keberhasilan.
Seperti halnya ketika kerja kelompok di sekolah, ada murid yang memang secara sadar lebih memilih bekerja sendiri daripada bekerja dalam kelompok yang berpotensi terhambat karena memiliki anggota yang kinerjanya kurang. Barangkali juga secara karakter, tanggung jawabnya kurang.
Namun, jika kembali ke pepatah Afrika yang relevan dengan dunia leadership; mereka yang ingin berjalan jauh memang harus pergi bersama orang lain.
Butuh durasi yang cukup panjang untuk meraih keberhasilan yang bertahan lama. Akibatnya, butuh ketahanan yang cukup juga untuk menempuhnya, termasuk dalam bekerja bersama orang lain yang punya karakter dan kompetensi berbeda.
Dari sinilah kemampuan pemimpin sebetulnya diuji. Bukan kinerja dirinya seorang, tetapi kemampuannya memimpin orang lain, memberikan arah, pengaruh, dan menunjukkan ketahanan untuk pantang menyerah.
Pemimpin perlu adaptif
Sebelumnya, mari kita sepakat bahwa seorang pemimpin juga adalah manusia yang adaptif, bisa berubah seiring waktu dan memiliki kekuatan serta kelemahan. Seorang individu yang memiliki potensi sebagai pemimpin, barangkali tidak akan sempurna di awal tetapi akan terasah seiring kemampuan dan kemauannya bertumbuh.
Inilah yang membuat dunia kepemimpinan bukan hanya diisi oleh mereka yang andal sejak awal, tetapi mereka yang menemukan kesukaan untuk terus bertumbuh dan mengembangkan diri dengan keterampilan mengelola potensi orang lain.
Jadi, jika kita merasa belum menjadi pemimpin yang “baik” atau memiliki pemimpin yang kurang andal di beberapa area, tidak perlu khawatir.
Pernah dengar istilah transformational leadership? Dasarnya tentang bagaimana seorang pemimpin menginspirasi orang-orang sehingga bisa meraih hasil yang luar biasa. Anggota tim bukan hanya menjadi peserta dalam prosesnya, tetapi terpengaruh menjadi pemimpin.
Beberapa penelitian mencatat bahwa penerapan transformational leadership memberikan beberapa pengaruh positif bagi tim. Tiga teratasnya yaitu performa yang lebih baik, lebih sejahtera, serta lebih termotivasi karena merasa dipercaya dan dihargai.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana caranya menjadi seorang transformational leader?
Seorang pemimpin transformasional fokus pada mendorong kreativitas dalam tim dan memberikan kesempatan-kesempatan pengembangan. Pemimpin ini juga aktif memberikan dukungan secara individu melalui komunikasi yang cocok dengan pribadi penerimanya.

Pemimpin perlu bisa mentransferkan visinya, tujuan kepemimpinannya, juga motivasinya dalam mengisi perannya sebagai pemimpin. Dengan demikian, anggota tim dapat lebih memahami sudut pandang dan berbagi pengalaman yang relevan.
Dari sini juga seorang pemimpin dapat dipandang menjadi teladan, yang meski tidak sempurna, dia dipercaya oleh anggotanya dan dihormati.
Menariknya, tipe kepemimpinan seperti ini menghasilkan tingkat keluar-masuk (turnover) anggota tim sangat rendah. Tim yang dipimpin dengan gaya seperti ini menunjukkan kesuksesan dan loyalitas karena anggota merasa diterima, dikembangkan, diberikan ruang berekspresi.
Kita bisa melihat beberapa contoh pemimpin transformasional yang dikenal secara internasional seperti Barack Obama, Nelson Mandela, Oprah Winfrey, dan juga Steve Jobs.
Beberapa skill yang patut seorang pemimpin transformasional miliki berkaitan erat dengan membangun relasi melalui komunikasi efektif dan juga kerendahan hati untuk mengambil tanggung jawab dan menanggung risiko.
Pemimpin transformasional dikenal dari caranya merespons situasi dan memberdayakan potensi.
Namun, dalam beberapa situasi tertentu seperti pencapaian besar jangka pendek, gaya transformasional barangkali kurang menguntungkan untuk diterapkan.
Pemimpin yang sedang fokus pada pencapaian besar dalam waktu yang pendek perlu memberikan arahan yang jelas dan langsung demi tercapainya tujuan. Memberikan ruang kreativitas bisa menjadi bumerang karena akan menghabiskan waktu.
Sementara itu, jika situasi yang diinginkan lebih kolaboratif dan ada cukup ruang dan waktu untuk berkreativitas, transformational leadership bisa menjadi jawabannya.
Penekanannya lebih banyak tentang komitmen jangka panjang, daripada pencapaian jangka pendek. Maka dari itu, pemimpin perlu bisa mengenali kondisi dan menerapkan gaya yang sesuai kebutuhan tim.
Sebagai pemimpin, kita perlu mengingat ulang visi kepemimpinan kita. Apakah kita ingin mencapai “cepat”, atau “jauh”?
Perjalanan jauh perlu rekan, ingat bahwa tim yang bertahan lama, adalah tim yang perlu dirawat anggotanya. If you want to to far, go together. (Nat)